Pada masa ini,
awal mulanya diterapkan demokrasi dengan system kabinet presidensial yaitu para
menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden, sehingga
yang berhak memberhentikannya adalah presiden. Namun setelah dikeluarkannya
Maklumat Wakil Presiden No. X yang menyatakan BP KNIP menjadi sebuah lembaga
yang berwenang sebagaimana lembaga negara, kemudian diperkuat dengan Maklumat
Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 yang menyatakan diperbolehkannya pembentukan
multipartai, serta Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 yang menegaskan
tanggung jawab adalah dalam tangan menteri. Lahirlah sistem pemerintahan
parlementer yang pada prinsipnya menegaskan pertanggung jawaban menteri-menteri
kepada parlemen. Pemberlakuan UUDS 1950 menegaskan berlakunya sistem
parlementer dengan multipartai. Namun perkembangan partai-partai tidak dapat
berlangsung lama karena koalisi yang dibangun sangat rapuh dan gampang pecah,
sehingga mengakibatkan tidak stabilnya pemerintahan pada saat itu.
b. Periode Berlakunya Demokrasi Terpimpin
(1959—1965)
Setelah
keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku
kembali, dan berakhirnya pelaksanaan demokrasi liberal. Kemacetan politik yang
terjadi pada masa itu dapat diselesaikandengan menggunakan demokrasi terpimpin,
di mana dominasi kepemimpinan yang kuat akan dapat mengendalikan kekuatan
politik yang ada pada saat itu. Keadaan pada masa demokrasi terpimpin diwarnai
oleh tank menarik tiga kekuatan politik yang paling utama, yaitu Soekarno,
Angkatan Darat dan PKI. Soekarno membutuhkan PKI untuk menandingi kekuatan
Angkatan Darat
yang beralih fungsi sebagai kekuatan politik, sedangkan PKI memerlukan Soekarno
untuk mendapatkan perlindungan presiden dalam melawan Angkatan Darat. Angkatan
darat sendiri membutuhkan Soekarno untuk mendapatkan legitimasi agar dapat
terjun ke arena politik Indonesia.
Adanya tank ulur
dalam kehidupan politik saat itu, memunculkan masalah-masalah besar yang
menyimpang dari kehidupan demokrasi yang berdasarkan UUD 1945, yaitu:
1) Presiden
diangkat sebagai presiden seumur hidup berdasarkan ketetapan MPRS No.lI1/1963.
2) Adanya
perangkapan jabatan oleh beberapa orang, di mana seorang anggota kabinet dapat
juga sekaligus menjadi anggota MPRS.
3) Keanggotaan
MPRS dan lembaga negara lain tidak melalui proses demokrasi yang baik, karena
dilakukan dengan cara menunjuk seseorang untuk menjadi anggota lembaga negara
tertentu.
4) Pelaksanaan
demokrasi terpimpin cenderung berpusat pada kekuasaan presiden yang melebihi
apa yang ditentukan oleh UUD 1945, yaitu dengan keluarnya produk hukum yang
setingkat undangundang dalam bentuk penetapan presiden (Penpres). Misalnya
Penpres No.2/1959 tentang pembentukan MPRS, Penpres No.3/1959 tentang DPAS dan
Penpres No.3/1960 tentang DPRGR.
5) DPR basil
Pemilu 1955 dibubarkan oleh Presiden karena RAPBN yang diajukan pemerintah
tidak disetujui DPR, dan dibentuklah DPRGR tanpa melalui pemilu.
6) Terjadinya
penyelewengan terhadap ideologi Pancasila dan UUD 1945, dengan berlakunya
ajaran Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunis).
7) Terjadinya
Pembrontakan Gerakan 30 September PKI (G 30 S/PKI) yang mengajarkan ideologi
komunis. Peristiwa Gerakan 30 September PKI dapat ditumpas dan dibubar-kan
beserta dengan antek-anteknya, bahkan PKI menjadi organisasi terlarang.
Hancurnya PKI, menandai berakhirnya sistem demokrasi pepimpin dan munculnya
Orde Baru yang ingin melaksanakan Pancasila pan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen.
c. Periode Berlakunya Demokrasi Pancasila
(1965—1998)
Gerakan
pembrontakan yang dilakukan oleh PKI merupakan puncak penyimpangan yang terjadi
pada masa berlakunya demokrasi pepimpin. Tetapi hal ini menjadi titik tolak
bagi pengemban Surat Perintah 11 Maret, yaitu Soeharto untuk menuju puncak
kepemimpinan nasional dengan dikeluarkannya ketetapan MPRS No.XXXIII/MPRS/1967
tanggal 12 Maret 1967 tentang Pengangkatan Soeharto menjadi Presiden Negara
Republik Indonesia.
Pada masa orde
baru berlaku sistem demokrasi pancasila. Dikatakan demokrasi pancasila karena
sistem demokrasi yang diterapkan didasarkan pada Pancasila, yang intinya adalah
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakiln yang dijiwai sila pertama, kedua, ketiga dan menjiwai
sila kelima. Pengertian demokrasi pancasila tersebut sesuai dengan Tap MPRS No.
XXVII/MPRS/1968 tentang Pedoman Pelaksanaan Demokrasi Pancasila, di mana dalam
ketetapan tersebut disebutkan istilah Demokrasi Pancasiia adalah sama dengan
sila keempat dari Pancasila.
Ada beberapa
fungsi Demokrasi Pancasila, yaitu:
1) menjamin
adanya keikutsertaan rakyat dalam kehidupan bernegara;
2) menjamin
tetap tegaknya negara Proklamasi 17 Agustus 1945;
3) menjamin
tetap tegaknya negara kesatuan Republik Indonesia;
4) menjamin
tetap tegaknya hukum yang bersumber pada Pancasila;
5) menjamin
adanya hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antara lembaga-lembaga
negara;
6) menjamin
adanya pemerintahan yang bertanggung jawab. Prinsip atau asas pelaksanaan
Demokrasi Pancasila menurut pemerintahan orde baru ada tiga, yaitu:
1) menjunjung
tinggi hak asasi manusia dan martabat manusia;
2) kekeluargaan
dan gotong royong;
3) musyawarah
mufakat.
Namun, demokrasi
pancasila dalam era Orde Baru hanya sebatas keinginan yang belum pernah
terwujud. Karena gagasan yang baik tu baru sampai taraf wacana belum
diterapkan. Praktik kenegaraan dan pemerintahan pada rezim ini tidak memberikan
ruang bagi kehidupan berdemokrasi. M. Rusli mengungkapkan ciri-ciri rezim orde
haru sebagai berikut.
1) Adanya
dominasi peranan ABRI dengan adanya Dwi Fungsi ABRI pada saat itu, yaitu
disamping sebagai kekuatan pertahanan keamanan ABRI juga mempunyai peranan
dalam bidang politik. Hal ini dapat dilihat dengan jatah kursi yang diberikan ABRI
dalam MPR;
2) Adanya
birokrasi dan sentralisasi dalam pengambilan keputusan politik;
3) Adanya
pembatasan terhadap peran dan fungsi partai dalam pengambilan keputusan
politik;
4) Adanya campur
tangan pemerintah dalam berbagai urusan partai politik dan publik;
5) Adanya massa
mengambang
6) Adanya
monolitisasi ideologi negara; yaitu negara tidak membiarkan berkembangnya
ideologi-ideologi lain;
7) Adanya
inkorporasi; yaitu lembaga-lembaga non pemerintah diharapkan menyatu dengan
pemerintah, padahal seharusnya sebagai alat kontrol bagi pemerintah.
Kepemimpinan pada masa Orde Baru bertumpu pada Soeharto sebagai presiden, ABRI,
Golkar, dan birokrasi. Pengambilan kebijakan bidang ekonomi lebih ditonjolkan
tetapi ruang kebebasan lebih dipersempit, sehingga pada pemerintahan orde baru
nyaris tanpa kontrol masyarakat. Hal ini mengakibatkan kemajuan ekonomi
digerogoti oleh korupsi, nepotisme, dan kolusi.
d. Periode Berlakunya Demokrasi dalam Era
Reformasi (1998-Sekarang)
Runtuhnya Orde
Baru ditandai dengan adanya krisis kepercayaan yang direspon oleh kelompok
penekan (pressure group) dengan mengadakan berbagai macam demonstrasi yang
dipelopori oleh mahasiswa, pelajar, LSM, politisi, maupun masyarakat.
Runtuhnya
kekuasaan rezim orde baru telah memberikan harapan baru bagi tumbuhnya
demokrasi di Indonesia. Masa peralihan demokrasi ini merupakan masa yang sangat
rumit dan kritis karena pada masa ini akan ditentukan kearah mana demokrasi
akan dibangun. Keberhasilan dan kegagalan suatu transisi demokrasi sangat
bergantung pada empat faktor, yaitu:
1) komposisi
elite polit
2) desain
institusi politik
3) kultur
politik atau perubahan sikap terhadap politik dikalangan elite dan non elite
politik
4) peran
masyarakat madani.
Keempat faktor
tersebut harus berjalan sinergis sebagai modal untuk mengkonsolidasikan
demokrasi. Sedangkan Azyumardi Azra menyatakan langkah yang harus dilakukan
dalam transisi Indonesia menuju demokrasi sekurang-kurangnya mencakup reformasi
dalam tiga bidang besar, yaitu:
1) reformasi
konstitusional (constitutional reform) yang menyangkut perumusan kembali
falsafah, kerangka dasar, dan perangkat legal sistem politik.
2) reformasi
kelembagaan (institutional reform and empowerment), yang menyangkut
pengembangan dan pemberdayaan lembaga politik;
3) pengembangan
kultur atau budaya politik (political culture) yang lebih demokratis.
Sedangkan
dinamika demokrasi pada masa reformasi dapat dilihat berdasarkan aktifitas
kenegaraan sebagai berikut.
1) Dikeluarkanya
Undang-Undang No. 31 tahun 2002 tentang Partai Politik, memberikan ruang dan
gerak lebih luas untuk mendirikan partai politik yang memungkinkan
berkembangnya multipartai. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 31
Tabun 2002 Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan “partai politik didirikan dan
dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 orang warga negara Indonesia yang telah
berusia 21 tahun dengan akta notaris”.
2) Undang-Undang
No.12 tahun 2003 tentang Pemilu memberikan kebebasan kepada warga negara untuk
menggunakan hak pilihnya secara langsung untuk memilih anggota DPR, DPRD
provinsi, DPRD kabupaten/kota maupun DPD. Bahkan pemilihan presiden dan
wakilnya juga dilaksanakan secara langsung.
3) Upaya untuk
mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN, berwibawa dan bertanggung jawab
dibuktikan dengan keluarnya ketetapan MPR No.IX/MPR/1998 dan ditindak lanjuti
dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang pembentukan Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan sebagainya.
4) Lembaga
legislatif dan organisasi sosial politik sudah mempunyai keberanian untuk
melakukan fungsi kontrol terhadap ekskutif, sehingga terjadi check and balance.
5) Lembaga
tertinngi negara MPR berani mengambil langkah-langkah politik dengan adanya
sidang tahunan dan menuntut kepada pemerintah dan lembaga negara lain untuk
menyampaikan laporan kemajuan (progress report).
6) Adanya
kebebasan media massa tanpa ada rasa takut untuk dicabut surat ijin
penerbitannya.
7) Adanya
pembatasan masa jabatan presiden, yaitu jabatan presiden paling lama adalah 2
periode masa kepemimpinan.
izin copas ya kak untuk tugas :) Terimakasih.
BalasHapusizin copas ya mbak, untuk jadi bahan bacaan nambah pengetahuan. trims
BalasHapus