SISTEM KETAHANAN
NASIONAL PADA MASA ORDE BARU DAN REFORMASI
Sejak kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945 hingga
saat ini, rezim pemerintahan negara telah berganti beberapa kali, yang dapat
dikelompokan dalam tiga fase atau orde. Setiap penguasa dengan episode-nya
masing-masing memiliki karakteristik dan gaya pemerintahan yang unik dan
berbeda. Orde Lama yang dikomandani Presiden Republik Indonesia pertama, Ir.
Soekarno, dengan pola pemerintahan nasionalistik-universal yang didasari oleh
suasana batin penolakan imprealisme-kolonialisme (gaya lama maupun gaya baru,
neokolonialisme) cukup berhasil menyatukan bangsa Indonesia dalam sebuah negara
dan menciptakan ketahanan nasional yang cukup baik. Bahkan, pada saat Indonesia
masih sangat belia itu, Soekarno dengan gemilang merebut dan mempertahankan
Irian Barat berintegrasi ke dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Jika
jalan sejarah tidak berubah yang dipicu oleh tragedi politik berdarah di tahun
1965, beberapa bagian wilayah lainnya di seputaran nusantara, seperti Serawak
di utara Kalimantan, Timor-Timur, bahkan Papua Nugini dan Semenanjung Malaysia
dapat ditaklukan untuk diintegrasikan kedalam wilayah Indonesia dan
menjadikannya bagian integral bangsa Indonesia oleh penguasa saat itu.
Masa pemerintahan Soekarno tidaklah luput dari
berbagai persoalan dan rongrongan yang mengarah kepada bubarnya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Pemberontakan demi pemberontakan terjadi di beberapa
daerah seperti di Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Upaya pecah-belah negara yang
baru terbentuk inipun juga telah dilakukan secara “legal” melalui pembentukan
negara-negara kecil di nusantara yang menyatu dalam negara Republik Indonesia
Serikat (RIS) hasil perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Namun,
kepemimpinan Orde Lama dengan gaya khas seorang orator dan diplomat ulung,
Soekarno dapat dipandang berhasil mempertahankan keutuhan NKRI melalui berbagai
langkah strategis, baik kedalam negeri maupun ke tataran diplomasi internasional.
Kondisi ketahanan nasional tetap terjaga hingga kepada pergantian rezim di
tahun 1966/67.
Era Orde Lama berlalu digantikan Orde Baru. Ibarat
lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Demikian juga terjadi dalam
dunia pemerintahan negara Indonesia. Orde Baru, yang dimotori oleh Jenderal
Soeharto yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia kedua, muncul dengan
slogan barunya: “bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekwen”. Kalimat sakti mandraguna tersebut telah berhasil menyihir seluruh
lapisan masyarakat yang rindu dengan pemerintahan yang benar-benar berdasarkan
konstitusi dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila tidak hanya dalam
kehidupan bermasyarkat tetapi juga dalam sistim pemerintahan negara. Setidaknya,
melalui sosialisasi jargon Orde Baru tersebut, rekatan persatuan dan kesatuan
antar elemen masyarakat yang terdiri dari ratusan suku bangsa dapat lebih kuat
sehingga mengurangi hayalan disintegrasi bangsa untuk sementara waktu.
Langkah pemerintahan Soeharto yang fokus kepada
usaha pemenuhan kebutuhan pokok rakyat melalui program-program pembangunan lima
tahunan, telah secara signifikan meningkatkan integrasi nasional yang semakin
hari semakin kuat di antara sesama anak bangsa. Program asimiliasi dan
perkawinan campuran antar suku dan etnis, termasuk di kalangan Tionghoa, telah
membuka sekat-sekat perbedaan di antara berbagai komponen bangsa untuk bersatu,
yang pada gilirannya dapat mempertinggi ketahanan nasional negara Indonesia.
Program transmigrasi yang diperkirakan telah membaurkan puluhan juta penduduk
etnis Jawa-Madura-Bali ke hampir semua komunitas di seantero nusantara juga
menjadi salah satu kunci keberhasilan kepemimpinan nasional di bawah kendali
Soeharto dalam menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka
peningkatan ketahanan nasional.
Dalam mengatasi pergolakan bernuansa disitengrasi,
pemerintahan Orde Baru lebih mengedepankan gaya militer-otoriteristik melalui
berbagai strategi yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Bahkan untuk
membasmi tindak kriminalitas dan premanisme, pimpinan nasional saat itu
menerapkan pola penghilangan paksa ala militer melalui satuan khusus bawah
tanah, petrus (penembak misterius) yang menghasilkan matius (mati misterius).
Keberadaan Kopkamtib (Komando Operasional Pemulihan Keamanan dan Ketertiban)
dan Kantor Sosial Politik di daerah-daerah menjadi alat “pengamanan” yang
difungsikan tidak hanya sebagai strategi preventif-represif tapi juga sebagai
komponen petugas penindakan dan recovery terhadap tindakan yang mengarah kepada
pengancaman ketahanan nasional. Di masa Orde Baru, tingkat stabilitas ketahanan
nasional dikategorikan sangat mantap.
Orde Baru harus berakhir, digantikan dengan Orde
Reformasi sejak 1998 dan masih berjalan hingga saat ini. Pada kurun waktu 13
tahun masa Reformasi ini, telah muncul silih berganti 4 presiden di republik
ini, Baharuddin Jusuf Habibi, Abdul Rahman Wahid, Megawati Soekarnoputra, dan
Susilo Bambang Yudhonono. Dalam kaitannya dengan ketahanan nasional, buah pahit
era Orde Reformasi berupa lepasnya Provinsi Ke-27 Timor Timur (yang salah satu
gubernurnya Abilio Soares adalah alumnus Lemhannas) dan berpindahnya dua pulau,
Sipadan dan Ligitan ke wilayah kekuasaan negara Malaysia, dapat dijadikan
cerminan awal lemahnya kepemiminan nasional Indonesia di era ini. Pertanyaan
mendasar yang perlu direnungkan bersama adalah masihkan kita dapat mengharapkan
kepemimpinan nasional saat ini mampu meningkatkan dan mempertahankan ketahanan
nasional dalam kaitannya dengan penjagaan keutuhan NKRI? Dengan kata lain,
bagaimanakah efektivitas kepemimpinan nasional di era reformasi terhadap
peningkatan ketahanan nasional? Persoalan utama ini tentunya amat menarik untuk
dijadikan bahan kajian dan analisis dalam rangka menginspirasi setiap anak
bangsa, teristimewa para pemimpin nasional, dalam mencari formula kepemimpinan
nasional yang baik, efektif dan efisien di masa mendatang.
SISTEM KETAHANAN
NASIONAL DI NEGARA INDONESIA DAN NEGARA-NEGARA LAIN DI DUNIA.
Ketahanan Pada Aspek
Politik Dalam Negeri
- Sistem pemerintahan berdasarkan hukum, tidak berdasarkan kekuasaan yang bersifat absolut.
- Mekanisme politik yang memungkinkan adanya perbedaan pendapat, namun bukan perbedaan mengenai nilai dasar.
- Kepemimpinan nasional mampu mengakomodasikan aspirasi yang hidup dalam masyarakat.
- Terjalin komunikasi politik timbak balik antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka mencapai tujuan nasional.
Ketahanan
Pada Aspek Politik Luar Negeri
- Hubungan luar negeri ditujukan untuk meningkatkan kerjasama internasional di berbagai bidang dalam rangka memantapkan persatuan bangsa serta keutuhan NKRI.
- Politik luar negeri terus dikembangkan menurut prioritas dalam rangka meningkatkan persahabatan dan kerjasama antar negara berkembang serta antara negara berkembang dengan negara maju sesuai kemampuan demi kepentingan nasional.
- Citra positif Indonesia perlu ditingkatkan dan diperluas melalui promosi, peningkatan diplomasi, pertukaran pelajar dan lain sebagainya.
- Perkembangan dunia terus diikuti dan dikaji agar terjadinya dampak negatif yang dapat mempengaruhi stabilitas nasional dapat diatasi sedari dini.
- Langkah bersama negara berkembang dengan negara industri maju untuk memperkecil ketimpangan dan mengurangi ketidakadilan perlu ditingkatkan melalui perjanjian perdagangan internasional.
- Peningkatan kualitas SDM perlu dilaksanakan dengan pembenahan sistem pendidikan, pelatihan dan penyuluhan calon diplomat secara menyeluruh agar mereka dapat menjawab tantangan tugas yang mereka hadapi.
- Perjuangan bangsa Indonesia yang menyangkut kepentingan nasional, seperti melindungi hak warga negara Republijk Indonesia diluar negeri perlu ditingkatkan.
Refrensi Refrensi
Refrensi